Selamat datang ...

Tara... Kali ini Anda sedang tersangkut di blogku... Ayoo berbagi cerita kawan...

Dibaca, dikomen dan tolong di follow iya...

Sebagai seekor BeBek lucu nan imut dengan otak segede upil amoeba, kali ini BeBek akan berusaha membahas semua perihal dari A hingga Z.

Terima kasih telah berkunjung...

Semoga tulisan anehku bisa bermanfaat dan mohon kritik serta sarannya kawan...

Prev Next

Batas Antara Sportifitas dan Nasionalisme

Baru aja seminggu yang lalu ajang piala AFF menyita seluruh perhatian masyrakat Indonesia. Masih terasa benar sampe sekarang gejolak semangat yang masih membara di sekitar kita. Semangat buat caci maki tim Malaysia karena Indonesia kalah, semangat untuk selalu up to date tentang berita terbaru kakakku Irfan Bachdim dan semangat nyari utang kemana-mana karena modal jualan bakso dipakai beli tiket masuk nonton bola...

Iya apapun semangatnya, minumnya tetap teh botol "tiiiittt".  :p

Dari ajang ini, sebenarnya ada yang menggelitik yang pengen banget aku ungkapin (seekor BeBek yang tepatnya sedang berusaha mengalihkan perhatian dari ujian)...

Yakni, semangat Nasionalisme yang terkadang melenceng dari jalurnya. Seharusnya ke pantai Kuta, eh malah ke Pantai Sanur...

Well ketewel-tewel, gag bisa dipungkiri bahwa dari ajang sepak bola antar negara se-Asia Tenggara ini udah bikin aku merinding disko. Gimana gag? Lagu Indonesia Raya berkumandang begitu lantang dan hebohnya seantero negri (lebay dikit) padahal pas upacara 17an aja gag pernah sampe terdengar lantang kayak gitu...

Bangga khan? Pastinya.

Jauh dari kehebohan itu semua, sebenarnya ada kehebohan lain yang kita semua pasti udah tau. Kehebohan datangnya sekelompok "Ultraman"  yang berada di tengah-tengah keramaian supporter Malaysia saat pertandingan babak final leg pertama...

Pertandingan yang menguras emosi dan waktu itu benar-benar bikin aku pengen melompat dari jurang. Geregetan, oh aku geregetan mungkinkah aku jatuh pamor?

Rasa Nasionalisme yang begitu bergejolak, telah mampu membuat beribu kata mencaci maki tiap kali pemain Malaysia berhasil merebut bola dari tangan Indonesia...

Belum lagi di facebook, tentunya banyak banget komentar pedas untuk pemain Malaysia ataupun Indonesia. "Wooi, goblok loe! gitu aja gag bisa?"

Jawaban dari para pemain bola : "Wooi, kalo gue pinter, gue udah jadi ilmuwan bukan pemain sepak bola!"

Balik lagi ke masalah Nasionalisme. Saat pertandingan babak final itulah aku sadar bahwa batas antara sportifitas dan nasionalisme sebenarnya tipis banget. Banyak yang mengaku saking cinta pada negaranya, sehingga rela melampaui batas sportifitas.

Nasionalisme : "Aku dukung Malaysia 100% sehingga jadi juara"
Sportifitas yang menurut mereka benar : "Aku bakal senter muka pemain Indonesia dengan laser hijau."

Nasionalisme : "Malaysia memang harus juara!"
Sportifitas yang menurut mereka benar :  "Jampi-jampi pemain Indonesia biar gatel-gatel saat pertandingan."

Nasionalisme : "Aku gag rela Indonesia dipermalukan!"
Sportifitas yang menurut mereka benar : "Aku akan ngelemparin bus Malaysia dengan telur busuk dan tepung."

Nasionalisme : "Indonesia harus bisa bawa piala AFF"
Sportifitas yang menurut mereka benar : "Bakal aku kasi ramuan dari Ki Joko Pinter biar kaki pemain Malaysia kaku selama pertandingan." (saat pertandingan lebih milih gag nonton karena pesimis)

Yah, gag bisa dipungkiri kalo aku pun termasuk salah satu orang yang mengobarkan semangat Nasionalisme namun melepaskan batas sportifitas. Dalam pertandingan pastinya ada yang menang dan yang kalah. Namun, gag seharusnya juga dibarengi dengan berbagai cara untuk menang.

Jadilah layaknya gerombolan bebek, yang kemana pun selalu bersama. Janganlah sampai rasa Nasionalisme kita yang melenceng membuat kita punya banyak musuh. Kita makhluk sosial dan pastinya butuh orang lain. Itulah yang saat ini aku belajar pelajari. ^^,

Leave a Reply